Breaking News

Puisi

Gadget

Cerpen

Business

Minggu, 23 Februari 2014

Membentur Bumi

Paving jalan setapak yang semula sangat jelas terlihat olehku, kini mulai samar. Sudut-sudutnya yang berjumlah enam dengan sisi teraturnya, tercerai ke mana-mana. Meliuk-liukkan bentuknya semenjak genangan bening berdiam di pelupuk mataku. “Kita selesai aja Mar,” begitu katanya beberapa detik yang lalu.
Mengangkat kepala aku berkata dengan suara serak, “Wha, what?”
Ia mengangguk, “Sorry…”
Tapi aku menggeleng pelan, lalu “Tess..,” setitik air mendarat di pipiku. Bukan, itu bukan air mataku. Kutatap lurus Joe, kemudian ke hamparan biru yang mengubah dirinya menjadi abu-abu, langit.
Terjadi lagi, setelah kehadirannya di hari perceraian orang tuaku dan meninggalnya ayah. Sejak itu aku sangat membenci butiran bening yang meluncur dari permadani semu di atasku. Hingga aku dijuluki cat woman oleh seluruh temanku. Dan hari ini hujan kembali hadir menyaksikan akhir kisahku dengan Joe.
“Beri aku satu alasan,” kataku ketika ia beranjak dari duduknya.
“Martha…,” ucapnya seraya berlutut sambil memegang tanganku. “Aku yakin kamu akan mendapat yang lebih baik setelah ini. Aku hanya tidak bisa melanjutkan ini lagi. Itu saja.”
Aku bergeming saat ia menampakkan punggungnya dan melangkah menjauh. Disusul deraian hujan yang semakin lama semakin tak terkendali. Aku mendongak sekali lagi ke atas, dan percikan keras menimpa wajahku. Kuhujamkan pandanganku ke arahnya.
“Aarrgh.…!!!!” aku berteriak sekuat tenaga, berharap ia mengerti bahwa aku menantangnya. “I hate you rain…!!! Aku harap kamu nggak pernah ada!”
***
Peristiwa kemarin membuat mataku sedikit bengkak. Namun aku harus masuk hari ini. Ada misi untuk mengembalikan buku catatan sahabat yang tertinggal di rumah pas belajar bareng. Tirta namanya. Kelasnya hanya beda 2 ruang dariku. XI IPA-1, markas para siswa jenius. Jadi pas istirahat nanti, aku akan langsung ke kelasnya.
“Zzrrssh….” Air membentur bumi dengan begitu keras, menimbulkan gelegar berisik yang tak pernah ingin ku dengar. Hujan turun tepat ketika jam pelajaran berakhir, menyamarkan bunyi bel istirahat dari kantor.
“Oh, God…,” geramku.
Aroma hujan selalu merusak suasana hatiku. Dengan kesal, aku melangkah keluar. Mengomel, merutuk pada kenyataan mengapa aku tak dilahirkan di gurun pasir saja. Kelas kami di lantai dua, jadi betapa cepatnya kesalku bermimikri menjadi terkejut begitu kudapati semua siswa melongok ke bawah.
“Deb, Deb, pada ngapain sih mereka ngeliatin lapangan basket?” tanyaku menghalangi jalan Debby.
Tak segera dijawab, ia malah mengamatiku dengan heran. “Mereka nontonin Tirta sama Prita main basket,” jawabnya beberapa saat kemudian.
Aku terbelalak hendak mengecek. Tapi Debby menegurku, “Cat Woman, loe yakin gak di kelas aja? Ini ujan lo.”
“Aku benci bukan berarti aku takut.” Kemudian ia berlalu sambil mengedikkan bahu.
Dua manusia berseragam basket sedang berada di lapangan. Seperti kata Debby, hanya Tirta dan Prita, mantan kekasihnya. Mereka begitu asyik, hingga merasa hujan bukan menjadi penghalang. Aku tak tahu mengapa dua orang cerdas dan jago main basket punya pemikiran seperti itu.
“Wuuooo… plok,plok,plok…,” sorak penonton ketika Prita berhasil memasukkan bola. Ia menjulurkan lidah dan Tirta membalas dengan tawanya. Mereka berdua saling melempar tawa.
Aku tak bisa mengalihkan pandangan sedetik pun. Ada kebahagiaan di sana, di tengah hujan, yang membuatku sangat marah. Sesuatu membakar dadaku. Membuat napasku tak beritme seperti sebelumnya. Satu-satunya hal yang kulakukan saat ini adalah menatap tajam mereka berdua. Buku catatan bersampul tebal yang dari tadi kupegang, sengaja kulempar ke bawah setelah kucengkeram kuat. Aku cemburu, aku memang menyukai Tirta.
“Brukk.” Ia refleks menoleh ke bukunya dan sempat melihatku. Aku segera pergi, menghindari tatapan aneh semua orang yang ada di situ.
“Martha!!!” teriak Tirta yang meninggalkan lapangan, mengejarku. Aku berhenti di pojok koridor, di sisi tangga yang jarang dilalui anak-anak.
“Mar…,” katanya lirih.
Aku membelakanginya. “Kamu udah gila, Tir? Hujan bisa membuatmu sakit,” kataku sambil membalikkan badan.
“Loe tahu gue gak bakal semudah itu sakit cuman gara-gara hujan,” jawabnya.
“Jangan mentang-mentang nama kamu air, trus kamu bisa seenak hati bermain-main dengannya,” sergahku. Kuluruskan telunjukku ke arah air yang jatuh bersusul-susulan. “Karena dia bisa membawa hal buruk untukmu!”
Tirta memegangi kepalanya. ”Oh, ayolah Mar… tidak semua yang dibawa hujan itu buruk. Gue yakin loe tahu itu.” Aku masih metanapnya tajam. “Gimana nasib tumbuh-tumbuhan yang layu kalo nggak ada hujan? Para binatang yang kehausan, sungai-sungai kering, atau orang yang menderita karena kekurangan air?” tuturnya.
“Lalu gimana dengan hari perceraian orang tuaku dan ketika ayah meninggal? Saat adik loe kecelakaan, atau kemarin waktu aku diputusin Joe? Di sana turun hujan, Tir… hujan yang sama dengan hari ini!” balasku.
“Mar… itu cuma hujan!” teriak Tirta. “Semuanya hanya kebetulan,“ ujarnya.
“Bukankah…,” aku menelan ludah, “Bukankah disebut kebetulan karena jarang terjadi?! Dan bukan sesering yang aku alami.”
Tirta nampak putus asa. “Percuma debat berkali-kali sama loe,” katanya sambil berlalu dari situ. Sementara aku mengawasi hujan dengan penuh amarah.
“Mart…,” panggilnya. Sudah kuduga ia akan kembali. “Pulskul nanti gue mau ngajarin loe Matem. Ke tempat biasa ya,” katanya kembali normal. Namun aku menegangkan urat wajahku lebih dari sebelumnya sambil melangkah maju. “Udah dong Mar, kayak loe nggak pernah tukar argumen aja sama gue,” ia membujuk.
Tepat di hadapannya, kuacak rambutnya. “Satu kosong!” teriakku sebelum kabur secepat kilat.
“Woey, curang loe!! Martha!!!”
***
Ini pojok favoritku dan Tirta. Di bawah naungan beringin pinggir lapangan, tepat di seberang deretan kelas kami. Ada tempat duduk dari kayu di situ. Biasanya buat diskusi atau belajar bareng ketika sekolah sudah sepi, seperti saat ini. Nggak ada yang bisa ngganggu Tirta kalo lagi belajar, kecuali pandangan tanpa berkedipku.
Ia melirik, “Mulai deh… loe ngeliatin gue lagi….”
Aku salah tingkah. “Haha, ge-er. Aku cuma lagi ngamatin, apa sih yang salah sama kamu, kok bisa jenius banget.”
“Salahnya bukan di gue. Tapi para manusia yang males belajar tuh. Ada apa dengan mereka, sampek nggak mau manfaatin kecerdasan yang mereka punya?” ujarnya yang lebih mirip nyeramahi. Aku menaikkan alis, menerima argumennya tanpa syarat.
“Tapi Mart,” katanya lagi. Baru setengah lingkaran mulutku terbuka, ia sudah menyambung. “Poinnya bukan itu kan?” Kepalaku sedikit lebih maju dari semula. “Alasan loe ngeliatin gue. Naksir loe ya sama gue…?” Ia mencoba menggodaku.
Bersamaan dengan pertanyaan yang tak mungkin kujawab itu, langit berubah mendung. Perlahan awan putih terganti oleh yang hitam. Udara menjadi dingin dan angin semilir menggerakkan rambutku yang sebahu.
“Tes… tes… tes…,” suara khas itu membuat dadaku bergemuruh.
“Favorit lu nih,” ucapku kepada Tirta. Ia memandang langit, tersenyum. Membuatku semakin muak pada gerimis ini.
Kusambar jaket hitamnya yang tergeletak di sebelahku. “Pinjem, Tir.” Aku hendak menyelamatkan diri ke tempat yang aman ketika tangannya tiba-tiba meraih pergelangan tanganku.
“Tir, kamu tahu, aku benci, jadi biarkan aku ..”
“Melarikan diri?” sahut Tirta cepat. Ia menggeleng. “Inget waktu loe ninggalin gue sendirian di kafe karena turun hujan?”
Memoriku kembali memutar kejadian itu. Aku sedang duduk di dalam kafe dan sinar matahari meredup seperti sekarang. Aku panik hingga melupakan Tirta yang berada di toilet. Kutinggalkan ia di sana.
“Akui Mar, kalo loe takut. Loe terlalu paranoid sama hujan,” tuduhnya yang kubalas ekspresi marah.
“Aku nggak pernah takut!” sergahku sambil menjatuhkan jaketnya sebagai bukti bahwa aku tidak seperti yang ia kira.
“Kalo gitu disebut apa orang yang kabur begitu melihat hujan?” Tirta memelankan suaranya. “Kita bukan Tuhan, Mar. Nggak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah atau menuntut agar ini tak terjadi. Dan loe nggak bisa terus-menerus menghindar.” Ia mendekat, memperkecil jarak antara kami. Sementara buliran air yang jatuh semakin banyak. “Gue tahu suara hati kecil loe membenarkan itu semua. Bukan hujan yang menyebabkan hal buruk terjadi. Itu hanya bagian dari rencana-Nya agar loe nggak terus-terusan menangis seperti hujan.”
“Tir…,” gumamku tanpa menatap wajahnya.
“Please Mart, please… jangan atap itu yang ngelindungin loe dari dia,” katanya memohon sembari memelukku. “Biar gue aja.”
Aku sudah tak mampu membedakan mana tetesan hujan dan air mata di pipiku. Keduanya samar.
If it’s going to be a rainy day,
there’s nothing we can do to make it change
We can pray for sunny weather,
but that won’t stop the rain
Let it fall, let it fall, let it fall
Please don’t stop the rain
Lagu milik James Morrison mengalun di tengah perkusi gerimis. Untuk pertama kalinya, aku memohon agar hujan tidak berhenti turun.


(zie,X-1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap memberi komentar yang sopan

Designed By