Paving
jalan setapak yang semula sangat jelas terlihat olehku, kini mulai samar.
Sudut-sudutnya yang berjumlah enam dengan sisi teraturnya, tercerai ke
mana-mana. Meliuk-liukkan bentuknya semenjak genangan bening berdiam di pelupuk
mataku. “Kita selesai aja Mar,” begitu katanya beberapa detik yang lalu.
Mengangkat kepala aku berkata
dengan suara serak, “Wha, what?”
Ia mengangguk, “Sorry…”
Tapi aku menggeleng pelan,
lalu “Tess..,” setitik air mendarat di pipiku. Bukan, itu bukan air mataku. Kutatap
lurus Joe, kemudian ke hamparan biru yang mengubah dirinya menjadi abu-abu,
langit.
Terjadi lagi, setelah
kehadirannya di hari perceraian orang tuaku dan meninggalnya ayah. Sejak itu
aku sangat membenci butiran bening yang meluncur dari permadani semu di atasku.
Hingga aku dijuluki cat woman oleh seluruh temanku. Dan hari ini hujan kembali
hadir menyaksikan akhir kisahku dengan Joe.
“Beri aku satu alasan,” kataku
ketika ia beranjak dari duduknya.
“Martha…,” ucapnya seraya berlutut
sambil memegang tanganku. “Aku yakin kamu akan mendapat yang lebih baik setelah ini. Aku hanya tidak
bisa melanjutkan ini lagi. Itu saja.”
Aku bergeming saat ia
menampakkan punggungnya dan melangkah menjauh. Disusul deraian hujan yang
semakin lama semakin tak terkendali. Aku mendongak sekali lagi ke atas, dan
percikan keras menimpa wajahku. Kuhujamkan pandanganku ke arahnya.
“Aarrgh.…!!!!” aku berteriak
sekuat tenaga, berharap ia mengerti bahwa aku menantangnya. “I hate you rain…!!! Aku harap kamu
nggak pernah ada!”
***
Peristiwa kemarin membuat
mataku sedikit bengkak. Namun aku harus masuk hari ini. Ada misi untuk
mengembalikan buku catatan sahabat yang tertinggal di rumah pas belajar bareng.
Tirta namanya. Kelasnya hanya beda 2 ruang dariku. XI IPA-1, markas para siswa
jenius. Jadi pas istirahat nanti, aku akan langsung ke kelasnya.
“Zzrrssh….” Air membentur bumi dengan begitu
keras, menimbulkan gelegar berisik yang tak pernah ingin ku dengar. Hujan turun tepat ketika jam
pelajaran berakhir, menyamarkan bunyi bel istirahat dari kantor.
“Oh, God…,” geramku.
Aroma hujan selalu merusak
suasana hatiku. Dengan kesal, aku melangkah keluar. Mengomel, merutuk pada
kenyataan mengapa aku tak dilahirkan di gurun pasir saja. Kelas kami di lantai
dua, jadi betapa cepatnya kesalku bermimikri menjadi terkejut begitu kudapati
semua siswa melongok ke bawah.
“Deb, Deb, pada ngapain sih
mereka ngeliatin lapangan basket?” tanyaku menghalangi jalan Debby.
Tak segera dijawab, ia malah
mengamatiku dengan heran. “Mereka nontonin Tirta sama Prita main basket,” jawabnya beberapa saat
kemudian.
Aku terbelalak hendak
mengecek. Tapi Debby menegurku, “Cat Woman, loe yakin gak di kelas aja? Ini
ujan lo.”
“Aku benci bukan berarti aku
takut.” Kemudian ia berlalu sambil mengedikkan bahu.
Dua manusia berseragam basket
sedang berada di lapangan. Seperti kata Debby, hanya Tirta dan Prita, mantan kekasihnya. Mereka begitu
asyik, hingga merasa hujan bukan menjadi penghalang. Aku tak tahu mengapa dua
orang cerdas dan jago main basket punya pemikiran seperti itu.
“Wuuooo… plok,plok,plok…,”
sorak penonton ketika Prita berhasil memasukkan bola. Ia menjulurkan lidah dan
Tirta membalas dengan tawanya. Mereka berdua saling melempar tawa.
Aku tak bisa mengalihkan
pandangan sedetik pun. Ada kebahagiaan di sana, di tengah hujan, yang membuatku
sangat marah. Sesuatu membakar dadaku. Membuat napasku tak beritme seperti
sebelumnya. Satu-satunya hal yang kulakukan saat ini adalah menatap tajam
mereka berdua. Buku catatan bersampul tebal yang dari tadi kupegang, sengaja
kulempar ke bawah setelah kucengkeram kuat. Aku cemburu, aku memang menyukai
Tirta.
“Brukk.” Ia refleks menoleh ke
bukunya dan sempat melihatku. Aku segera pergi, menghindari tatapan aneh semua
orang yang ada di situ.
“Martha!!!” teriak Tirta yang
meninggalkan lapangan, mengejarku. Aku berhenti di pojok koridor, di sisi tangga yang jarang dilalui
anak-anak.
“Mar…,” katanya lirih.
Aku membelakanginya. “Kamu
udah gila, Tir? Hujan bisa membuatmu sakit,” kataku sambil membalikkan badan.
“Loe tahu gue gak bakal
semudah itu sakit cuman gara-gara hujan,” jawabnya.
“Jangan mentang-mentang nama kamu
air, trus kamu bisa seenak hati bermain-main dengannya,” sergahku. Kuluruskan
telunjukku ke arah air yang jatuh bersusul-susulan. “Karena dia bisa membawa
hal buruk untukmu!”
Tirta memegangi kepalanya. ”Oh,
ayolah Mar… tidak semua yang dibawa hujan itu buruk. Gue yakin loe tahu itu.”
Aku masih metanapnya tajam. “Gimana nasib tumbuh-tumbuhan yang layu kalo nggak
ada hujan? Para
binatang yang kehausan, sungai-sungai kering, atau orang yang menderita karena
kekurangan air?” tuturnya.
“Lalu gimana dengan hari
perceraian orang tuaku dan ketika ayah meninggal? Saat adik loe kecelakaan,
atau kemarin waktu aku diputusin Joe? Di sana turun hujan, Tir… hujan yang sama
dengan hari ini!” balasku.
“Mar… itu cuma hujan!” teriak
Tirta. “Semuanya hanya kebetulan,“ ujarnya.
“Bukankah…,” aku menelan
ludah, “Bukankah disebut kebetulan karena jarang terjadi?! Dan bukan sesering
yang aku alami.”
Tirta nampak putus asa.
“Percuma debat berkali-kali sama loe,” katanya sambil berlalu dari situ.
Sementara aku mengawasi hujan dengan penuh amarah.
“Mart…,” panggilnya. Sudah
kuduga ia akan kembali. “Pulskul
nanti gue mau ngajarin loe Matem. Ke tempat biasa ya,” katanya kembali normal.
Namun aku menegangkan urat wajahku lebih dari sebelumnya sambil melangkah maju.
“Udah dong Mar, kayak loe nggak pernah tukar argumen aja sama gue,” ia
membujuk.
Tepat di hadapannya, kuacak
rambutnya. “Satu
kosong!” teriakku sebelum kabur secepat kilat.
“Woey, curang loe!! Martha!!!”
***
Ini pojok favoritku dan Tirta.
Di bawah naungan beringin pinggir lapangan, tepat di seberang deretan kelas
kami. Ada tempat duduk dari kayu di situ. Biasanya buat diskusi atau belajar
bareng ketika sekolah sudah sepi, seperti saat ini. Nggak ada yang bisa ngganggu
Tirta kalo lagi belajar, kecuali pandangan tanpa berkedipku.
Ia melirik, “Mulai deh… loe
ngeliatin gue lagi….”
Aku salah tingkah. “Haha, ge-er.
Aku cuma lagi ngamatin, apa sih yang salah sama kamu, kok bisa jenius banget.”
“Salahnya bukan di gue. Tapi para
manusia yang males belajar tuh. Ada apa dengan mereka, sampek nggak mau
manfaatin kecerdasan yang mereka punya?” ujarnya yang lebih mirip nyeramahi. Aku menaikkan alis, menerima
argumennya tanpa syarat.
“Tapi Mart,” katanya lagi.
Baru setengah lingkaran mulutku terbuka, ia sudah menyambung. “Poinnya bukan
itu kan?” Kepalaku sedikit lebih maju dari semula. “Alasan loe ngeliatin gue.
Naksir loe ya sama gue…?” Ia mencoba menggodaku.
Bersamaan dengan pertanyaan yang
tak mungkin kujawab itu, langit berubah mendung. Perlahan awan putih terganti
oleh yang hitam. Udara menjadi dingin dan angin semilir menggerakkan rambutku
yang sebahu.
“Tes… tes… tes…,” suara khas itu
membuat dadaku bergemuruh.
“Favorit lu nih,” ucapku kepada
Tirta. Ia memandang langit, tersenyum. Membuatku semakin muak pada gerimis ini.
Kusambar jaket hitamnya yang
tergeletak di sebelahku. “Pinjem, Tir.” Aku hendak menyelamatkan diri ke tempat
yang aman ketika tangannya tiba-tiba meraih pergelangan tanganku.
“Tir, kamu tahu, aku benci,
jadi biarkan aku ..”
“Melarikan diri?” sahut Tirta
cepat. Ia menggeleng. “Inget waktu loe ninggalin gue sendirian di kafe karena
turun hujan?”
Memoriku kembali memutar
kejadian itu. Aku sedang duduk di dalam kafe dan sinar matahari meredup seperti
sekarang. Aku panik hingga melupakan Tirta yang berada di toilet. Kutinggalkan
ia di sana.
“Akui Mar, kalo loe takut. Loe
terlalu paranoid sama hujan,” tuduhnya yang kubalas ekspresi marah.
“Aku nggak pernah takut!”
sergahku sambil menjatuhkan jaketnya sebagai bukti bahwa aku tidak seperti yang
ia kira.
“Kalo gitu disebut apa orang
yang kabur begitu melihat hujan?” Tirta memelankan suaranya. “Kita bukan Tuhan,
Mar. Nggak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah atau menuntut agar ini tak
terjadi. Dan loe nggak bisa terus-menerus menghindar.” Ia mendekat, memperkecil
jarak antara kami. Sementara buliran air yang jatuh semakin banyak. “Gue tahu
suara hati kecil loe membenarkan itu semua. Bukan hujan yang menyebabkan hal
buruk terjadi. Itu hanya bagian dari rencana-Nya agar loe nggak terus-terusan
menangis seperti hujan.”
“Tir…,” gumamku tanpa menatap
wajahnya.
“Please Mart, please… jangan
atap itu yang ngelindungin loe dari dia,” katanya memohon sembari memelukku.
“Biar gue aja.”
Aku sudah tak mampu membedakan
mana tetesan hujan dan air mata di pipiku. Keduanya samar.
If it’s going to be a rainy day,
there’s nothing we can do to make
it change
We can pray for sunny weather,
but that won’t stop the rain
Let it fall, let it fall, let it
fall
Please don’t stop the rain
Lagu milik James Morrison mengalun
di tengah perkusi gerimis. Untuk pertama kalinya, aku memohon agar hujan tidak berhenti turun.
(zie,X-1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap memberi komentar yang sopan